Kreatif dan ‘Lapar’
Kreatif dan ‘Lapar’
Written By Ali Sakit on Minggu, 07 Oktober 2012 | 20.42
(1) memiliki daya cipta;
(2) memiliki kemampuan untuk menciptakan.
Jadi, proses kreatif adalah proses mencipta sesuatu dan konteks dalam tulisan ini adalah mencipta tulisan atau menulis, baik itu tulisan yang bersifat fiksi maupun non-fiksi.
Ingat, mereka yang menulis fiksi disebut pengarang dan mereka yang menulis non-fiksi disebut penulis. (masih ingat kan dengan pembahasan dulu? kagak inget gue jitak)
Seorang penulis bisa menjadi pengarang, tetapi pengarang pada umumnya sedikit yang menjadi penulis. Hambatannya, menjadi penulis diperlukan topangan referensi yang lebih luas dan mendalam, apalagi bila yang bersangkutan menulis tulisan yang bersifat akademis/ilmiah. Tetapi bukan berarti bahwa menjadi seorang pengarang itu lebih mudah dibandingkan menjadi penulis. Sebab, baik untuk menjadi pengarang maupun penulis, keduanya memerlukan modal utama yaitu memiliki dorongan yang kuat untuk menulis (the strong will to write) atau dalam jargon creative writing disebut ‘lapar menulis’ (tidak sekedar haus). Dapat dibayangkan, bagaimana jika kita lapar (kelaparan) harus makan. Tentunya, jalan apa pun ditempuh, bukan? Goal-nya adalah makan, harus makan.
Dalam kasus ‘lapar menulis’, jalan apa pun ditempuh, it’s goal is do writing.
Jadi, jika kita ingin menjadi penulis atau pengarang, untuk mencapainya adalah menulis – do writing, do it soon, very soon, don’t be postponed. Sayangnya, banyak pihak yang ingin menjadi pengarang atau penulis tetapi hanya sebatas ‘ingin’ karena tidak juga menulis. Alasannya, sulit memulai, tidak punya waktu, takut salah, malu atau tidak ada inspirasi/ide yang pas untuk ditulis. Akhirnya, proses menulis pun tertunda.
Benar, untuk memulai menulis memang memerlukan proses kreatif yaitu dimulai dengan adanya ide (kekayaan batin/intelektual) sebagai bahan tulisan. Pengalaman saya, ide itu bisa diperoleh/didapat setiap saat, kapan mau menulis. Sumber utamanya adalah bacaan, pergaulan, perjalanan (traveling), kontemplasi, monolog, konflik dengan diri sendiri (internal) maupun dengan di luar diri kita (external), pembrontakan (rasa tidak puas), dorongan mengabdi (berbagi ilmu), kegembiraan, mencapai prestasi, tuntutan profesi dan sebagainya. Semuanya itu bisa dijadikan gerbang untuk mendorong memasuki proses kreatif menulis.
Kuncinya adalah punya hasrat yang kuat untuk menulis yang sebelumnya telah saya sebut sebagai the strong will to write sebagai modal utama untuk mulai menulis.
Modal kedua, adalah berkomitmen disertai disiplin untuk menulis. Antara lain mempuyai jadwal tetap untuk menulis dan rajin mengumpulkan ide-ide yang akan ditulis. Kedua hal tersebut perlu ditaati agar proses kreatif tidak terputus. Sayangnya, kadang kegiatan rutin yang wajib kita kerjakan membuat kegiatan menulis jadi tertunda atau terbengkalai sehingga tulisan tidak pernah menjadi suatu karya. Untuk mensiasatinya, maka perlu menulis di pagi hari (dini hari) atau malam (hingga larut malam, menjelang pagi). Baik juga memanfaatkan waktu luang pada akhir pekan atau hari libur. Yang penting, ada waktu khususnya untuk memberi ‘ruang’ proses kreatif yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan (karya nyata).
Menulis bukanlah sekadar membuat kalimat, melainkan diperlukan kemampuan mengolah kata. Kata-kata yang diolah juga bukan sembarang kata, melainkan kata-kata yang telah dipilih (diksi) untuk dijadikan media menulis. Kata-kata yang dipilih ini akan membuat tulisan baik atau buruk, menarik atau membosankan dan mudah atau sulit dipahami pembacanya (masih ingat dengan pembahasan kita "pilih kata yang bertenaga"? juga "ide sederhana penyajian cemerlang"?)
Dalam teori ini, untuk menjadi seorang penulis atau pengarang, pertama-tama harus mampu memilih kata-kata yang akan dijadikan media tulisannya. Karena, kata-kata ini merupakan senjata utama bagi penulis/pengarang untuk ‘menaklukkan’ pembaca. Agar dapat memilih dengan leluasa, maka setiap pengarang/penulis wajib kaya atau punya koleksi kata-kata tak terbatas, untuk dirangkai menjadi kalimat.
Pengkayaan kosakata dapat diperoleh dari bacaan, kamus, pergaulan dan penguasaan makna kata. Penggunaan kosakata ini tergantung pada keperluan masing-masing (menulis untuk fiksi atau non-fiksi). Tentunya, keperluan pengarang dengan penulis berbeda. Masing-masing punya jargon dan gaya tersendiri. Meskipun demikian, mereka ini punya goal yang sama: tulisannya ingin dibaca pembaca sebanyak dan seluas mungkin. Oleh karena itu, setiap penulis/pengarang pada waktu menulis telah memikirkan siapa sasaran pembacanya. Sehingga tidak salah ‘tembak’.
Tulisan yang menarik bagi pembaca, yang utama adalah mudah dipahami dan berbeda. Ada pun yang membuat sebuah tulisan itu mudah dipahami, yaitu:
1. Alur kalimat ditulis linier tidak bersifat ‘labirin’ (muter-muter, bertele-tele), sehingga tulisan terasa mengalir (flowing)
2. Tidak ada pengulangan kata-kata dan tidak banyak kata sambung seperti: lalu, kemudian, karena, jadi….dst
3. Hindari penggunaan kata-kata bersayap yang menyebabkan ambigu. Kata bersayap diperlukan, juga bunga kata, asal tidak berlebihan.
4. Isi tulisan tidak menggurui, tetapi memaparkan/menjelaskan sekalipun itu tulisan yang bersifat ‘pengajaran’.
5. Menyajikan tulisan dengan struktur susunan kata menjadi kalimat yang runtut dan paragraf yang tertata, sehingga tulisan mudah dicerna pembacanya
6. Mampu menggunakan tanda baca (dalam tulisannya) dengan tepat
7. Mencari ‘readers’ sebelum tulisan diterbitkan untuk minta pendapatnya (jika diperlukan)
8. Banyak membaca buku-buku yang disukai pembaca untuk dipelajari bahasa dan gaya penulisan para penulis/pengarang buku-buku yang banyak penggemarnya tersebut. Walaupun masing-masing penulis/pengarang idealnya punya ciri khas tersendiri.
9. dan yang terpenting, berani dan mau menerima kritik .
Sumber: http://www.rumpunnektar.com/2012/10/kreatif-dan-lapar.html#ixzz2efvp8ESr
Follow us: @rumpunnektar on Twitter
0 komentar:
Posting Komentar